Minggu, 15 Mei 2011

ARTIKEL SAHABAT EDUKASI

KRITIK PEDAS BAGI GURU
     Seorang sahabat bercerita, melalui eMail sekolahnya mendapat kiriman dari wali murid yang melek IT. Isinya memberikan pujian atas kinerja para guru untuk upaya mendiplinkan para siswanya. Namun sang Wali Murid pada akhirnya memberikan kritik yang berbalik dengan apa yang dinyatakan sebelumnya.
     Dari sekian deretan isi kritik yang membuatnya lantas berfikir dan merenung panjang adalah, "Enak ya Pak/Bu, sudah dapat tunjangan profesi, Bapak/Ibu masih telat datang ke sekolah dan molor masuk kelas". Sang Wali murid menambahkan, "Kalau hanya memberikan catatan pada murid di kelas, saya juga mampu kok Pak/Bu", begitu tulisnya di eMail tersebut.
     Melihat hal seperti itu, paling tidak kita introspeksi. Banyak sekali kesalahan yang kita perbuat. Namun kita anggap itu biasa dan wajar, karena pola mengajar kita memang tidak ada perubahan signifikan selama ini. Jika kita mengatakan dengan jujur memang benar adanya. Upaya pemerintah mempergencar peningkatan mutu dan kualitas pendidikan dengan memberikan layanan yang memadai disertai tunjangan profesi, rasanya tidak wajar bahkan tidak terpuji jika kita memang bertindak menurut takaran kita. Bukti dan fakta bahwa guru molor mengajar memang ditepis oleh sebagian rekan yang "kebetulan" mengajar di sekolah yang tingkat menejemenya sudah memadai, misalnya telah memperoleh ISO dan beberapa sekolah yang berstandar internasional (SBI). Namun, dibeberapa sekolah dengan predikat sekolah standar nasional (SSN) masih terdapat kecenderungan "krasan" dengan pola-pola lama yang mereka terapkan dalam pengajaran. apalagi di sekolah pinggiran yang jauh dari endusan media. Sungguh luar biasa dan menengangkan.
     Sertifikasi pendidikan atau tunjangan profesi, menyenangkan dan menguntungkan bahkan mengenakkan. Dirasakan atau tidak memang "ya". Lantas apa signifikansinya bagi peningkatan kualitas individu? Ternyata kembali pada personalitas. Secara personal mutu ada pada kemampuan sumber daya individu, yang dipengaruhi oleh lembaga pendidikan tinggi kita masih banyak yang memberikan pelayanan instant bak "mie goreng instant". Keluar dengan ijazah dan akta 4 bagi layanan instant akan memberikan dampak negatif bagi personal. Bagiaman tidak? Skripsi beli, menjahitkan, dan copy paste. PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) dilalui dengan santai hanya bertaraf mengenal sekolah karena dianggap hanya latihan mengajar. Perangkat administrasi dibuat copy paste tanpa disertai dengan bimbingan. Lantas mampukah proses demikian menghasilkan personal yang representatif edukatif? Fakta membuktikan "tidak"!

     Lantas?
    Program pemerintah melalui Kemendiknas akan menata guru melalui Dispendik Kota/Kabupaten. Pemerintah memberikan waktu tenggang untuk menata kembali. Mampukah dispendik tiap kabupaten gerak bersama dan sejalan dengan upaya pemerintah tersebut? Sebagai program, hal tersebut memang mampu dilaksanakan. Faktanya terkait dengan kendala birkrasi disekelilingnya. Model pemerintahan Indonesia yang masih "berbagi kekuasaan" memberikan efek intervensi antar institusi. Fakta membuktikan, ketika dispendik menata tenaga pendidik dan meratakan penyebarannya, dari kalangan anggota dewan yang terhormat masih intervensi dengan model lobying, hoping dan nepotisme. Alhasil, program penataan berjalan mulus dengan interensi antar institusi ternyata membuahkan hasil "kembali seperti semula" sebelum penataan.
     Jika demikian, benar adanya kalau eMail wali murid tersebut telah membeberkan fakta nasional, bahwa tenaga pendidik kita kurang kualifaid dan representatif dengan impian Indonesia untuk memajukan pendidikan Nasional Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------------
BACA JUGA ARTIKEL: Kritik terhadap Pendidikan Sekolah, Bagaimana ?
-----------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar